Pura Lempuyang Luhur
Memuja Sang Hyang Iswara
Om Asato ma sadgamaya
Tamaso ma jyotir gamaya
Mrtyor ma amrtam gamaya.
(Brhad Aranyaka Upanisad 1.3,28.)
Tamaso ma jyotir gamaya
Mrtyor ma amrtam gamaya.
(Brhad Aranyaka Upanisad 1.3,28.)
Artinya: Tuhan bimbinglah kami dari ketidakbenaran (asat)
menuju jalan kebenaran (satya) yang sejati. Bimbinglah kami
dari kegelapan (tamasa) menuju jalan yang terang benderang
(jyotih). Bimbinglah kami dari kematian rohani (mrta) menuju
kehidupan yang kekal abadi (amrtam).
Kewajiban masyarakat Bali untuk memuja Bhatara Hyang Gni
Jaya di Lempuyang Luhur disebutkan dalam bhisama Hyang Gni Jaya yang tertulis
dalam lontar Brahmanda Purana sebagai berikut ;
Wastu kita wong Bali, yan kita lali ring kahyangan,
tan
bakti kita ngedasa temuang sapisan, ring kahyangan ira Hyang Agni Jaya,
moga-moga kita tan dadi jadma,
wastu kita ping tiga kena saupa drawa
Lempuyang berasal dari kata ‘lampu’ yang artinya sinar dan
‘hyang’ untuk menyebut Tuhan. Dari kata itu lempuyang diartikan sinar suci
Tuhan yang terang benderang. Ada juga versi
lain yang menyebutkan lempuyang adalah sejenis tanaman yang dipakai
bumbu masak. Hal itu juga dikaitkan dengan nama banjar di sekitar Lempuyang
yaitu Bajar Bangle dan Gamongan. Bangle dan Gamongan merupakan tanaman sejenis
yang bias dipakai obat dan bumbu. Versi lain ada juga yang menyebut lempuyang
berasal dari kata ‘empu’ atau ‘emong’ yang diartikan menjaga. Bhatara Hyang
Pasupati mengutus tiga putranya turun untuk mengemong guna menjaga kestabilan
Bali dari berbagai guncangan bencana alam.
Pura Lempuyang memiliki status penting, sama seperti Pura
Besakih. Baik dalam konsep padma bhuwana, catur loka pala ataupun dewata nawa
sanga. Dalam berbagai sumber lontar atau prasasti kuno, ada tiga Pura besar
yang sering disebut selain Besakih dan Ulun Danu Batur yakni Pura lempuyang.
Sekitar tahun 1950 ditempat didirikannya Pura Lempuyang
Luhur kini, baru ada tumpukan batu dan sanggar agung yang dibuat dari pohon
hidup. Dibagian timur berdiri sebuah pohon sidhakarya besar yang kini sudah
tidak ada lagi. Diduga pohon itu tumbang atau mati pelan-pelan tanpa ada
generasi baru menggantikannya. Barulah pada tahun 1960 dibangun dua padma
kembar, dan sebuah padma tunggal bale piyasan.
Mengutip sejumlah sumber kuno, Jero Mangku Gede Wangi, pemangku
di pura itu mengatakan, orang Bali apapun wangsanya tak boleh melupakan pura
ini. Sebab,jika tidak pernah atau lupa memuja Tuhan yang manifestasinya
berstana di pura ini, selama hidup bias
tak pernah menemukan kebahagiaan, seringkali cekcok dengan keluarga atau
dengan masyarakat dan bahkan pendek umur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar