Selasa, 16 Juni 2015

Pura Lempuyang Luhur

Pura Lempuyang Luhur

Memuja Sang Hyang Iswara

Om Asato ma sadgamaya
Tamaso ma jyotir gamaya
Mrtyor ma amrtam gamaya.
(Brhad Aranyaka Upanisad 1.3,28.) 

Artinya: Tuhan bimbinglah kami dari ketidakbenaran (asat) menuju jalan kebenaran (satya) yang sejati. Bimbinglah kami dari kegelapan (tamasa) menuju jalan yang terang benderang (jyotih). Bimbinglah kami dari kematian rohani (mrta) menuju kehidupan yang kekal abadi (amrtam). 

Kewajiban masyarakat Bali untuk memuja Bhatara Hyang Gni Jaya di Lempuyang Luhur disebutkan dalam bhisama Hyang Gni Jaya yang tertulis dalam lontar Brahmanda Purana sebagai berikut ; 
 
Wastu kita wong Bali, yan kita lali ring kahyangan,
tan bakti kita ngedasa temuang sapisan, ring kahyangan ira Hyang Agni Jaya, 
moga-moga kita tan dadi jadma, 
wastu kita ping tiga kena saupa drawa
 
 
Lempuyang berasal dari kata ‘lampu’ yang artinya sinar dan ‘hyang’ untuk menyebut Tuhan. Dari kata itu lempuyang diartikan sinar suci Tuhan yang terang benderang. Ada juga versi  lain yang menyebutkan lempuyang adalah sejenis tanaman yang dipakai bumbu masak. Hal itu juga dikaitkan dengan nama banjar di sekitar Lempuyang yaitu Bajar Bangle dan Gamongan. Bangle dan Gamongan merupakan tanaman sejenis yang bias dipakai obat dan bumbu. Versi lain ada juga yang menyebut lempuyang berasal dari kata ‘empu’ atau ‘emong’ yang diartikan menjaga. Bhatara Hyang Pasupati mengutus tiga putranya turun untuk mengemong guna menjaga kestabilan Bali dari berbagai guncangan bencana alam.
Pura Lempuyang memiliki status penting, sama seperti Pura Besakih. Baik dalam konsep padma bhuwana, catur loka pala ataupun dewata nawa sanga. Dalam berbagai sumber lontar atau prasasti kuno, ada tiga Pura besar yang sering disebut selain Besakih dan Ulun Danu Batur yakni Pura lempuyang.
Sekitar tahun 1950 ditempat didirikannya Pura Lempuyang Luhur kini, baru ada tumpukan batu dan sanggar agung yang dibuat dari pohon hidup. Dibagian timur berdiri sebuah pohon sidhakarya besar yang kini sudah tidak ada lagi. Diduga pohon itu tumbang atau mati pelan-pelan tanpa ada generasi baru menggantikannya. Barulah pada tahun 1960 dibangun dua padma kembar, dan sebuah padma tunggal bale piyasan.
Mengutip sejumlah sumber kuno, Jero Mangku Gede Wangi, pemangku di pura itu mengatakan, orang Bali apapun wangsanya tak boleh melupakan pura ini. Sebab,jika tidak pernah atau lupa memuja Tuhan yang manifestasinya berstana di pura ini, selama hidup bias  tak pernah menemukan kebahagiaan, seringkali cekcok dengan keluarga atau dengan masyarakat dan bahkan pendek umur.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar